Ekspedisi Kecil: Kircon
Saturday, 20 August 2016 - 0 comment
Halo! Di post ini aku mau bercerita tentang pengalamanku ekspedisi ke daerah Kiaracondong.
Di kelas 8 semester 2 nanti, kelasku akan pergi melaksanakan perjalanan besar mengeksplor Jawa, seperti 3 kelas yang mendahului kami. Kami sudah mulai bersiap-siap sejak semester 1, dengan menjalani ekspedisi-ekspedisi kecil.
Ekspedisi kecil kali ini berlokasi di Kircon, hari Senin tanggal 8 Agustus. Kami diminta berkumpul jam 7:20 di Stasiun Bandung. Aku tiba di sana 5 menit terlambat akibat telat berangkat dari rumah, lupa harusnya bangun lebih pagi karena lokasi kumpulnya jauh. Ketika aku sampai, teman-temanku sudah berdiri dalam lingkaran, mencatat instruksi yang didiktekan Kak Braja. Aku buru-buru mengambil notesku dan ikut mencatat.
Kelompokku terdiri dari 4 orang: aku, Carenza, Tyogo, dan Steffany. Tapi ketika aku tiba di TKP, hanya Carenza yang tampak hadir. Aku bertanya pada Kak Caroline dan katanya, Steff sakit dan Tyogo terjebak macet. Aku langsung khawatir, dua kelompok yang lain masing-masing terdiri dari 5 orang dan anggotanya lengkap semua, sementara kelompokku hanya berdua.
Kami pun mulai beranjak melaksanakan tugas. Tugas pertama: mencari jalan untuk ke gerbang selatan (kami di gerbang utara). Aku dan Carenza berjalan sedikit dan bertanya pada petugas stasiun tentang hal itu, katanya tidak ada jalan selain memutar. Tugas kedua: menuliskan pertanyaan untuk diajukan pada orang-orang di stasiun. Kami menuliskan 5 pertanyaan pendek.
Selama melakukan tugas aku memperhatikan sekeliling. Stasiun tersebut cukup penuh tapi tidak sesak, aku dapat melihat sejumlah orang asing berjalan buru-buru mengejar kereta. Hawanya agak dingin, karena masih pagi, jadi banyak orang pakai jaket. Stasiun itu relatif bersih tapi ada tapak-tapak sepatu kotor menodai lantai, akibat hujan saat paginya.
Aku dan Carenza kemudian lapor ke Kak Braja bahwa sudah tuntas, lalu mulai beranjak ke gerbang selatan stasiun. Jalan ke sana hanya makan waktu sebentar, tinggal belok lalu naik jembatan yang menyeberangi rel, belok lagi, lalu sampai, deh. Di sana kami disambut Kak Caroline yang mencatat waktu kedatangan kami.
Tugas kami berikutnya adalah mengobrol dengan orang-orang di stasiun. Aku mengobrol dengan Ibu Eka, hangat orangnya. Kami bertukar cerita sedikit. Katanya dia jarang naik kereta, hanya setahun sekali. Dia datang terlalu pagi karena kereta yang dia mau naiki berangkat jam 10, padahal saat itu masih jam 8. Tujuannya adalah Padalarang, mau mengunjungi cucunya. Dia punya anak 4, semuanya sudah menikah kecuali anaknya yang bungsu, masih SMA. Rumahnya dekat Mall Ciwalk, katanya. Dia juga bilang, seragam yang aku pakai lucu.
Setelah selesai, Tyogo pun akhirnya sampai dan kami membeli tiket, harganya Rp 4.000,- masing-masing. Tujuannya adalah ke Cicalengka, tapi kita akan berhenti di Kiaracondong. Kami naik kereta jam 9:10 dan tiba jam 9:20.
menunggu kereta
Setibanya di Kircon, kami diberi misi baru, yaitu mencari kantor kelurahan dan mencari tahu letak Gereja Kristen Jawa. Kami pun segera beranjak ke sana. Nama kelurahan tersebut adalah Kebon Jayanti, dan rupanya GKJ terletak di jalan yang sama. Mereka memberitahu arah ke GKJ. Kami berterimakasih, lalu beranjak lagi.Dilihat dari luar, GKJ kecil. Bagian depannya penuh dengan orang-orang yang nongkrong. Ada anjing pitbull besar mengawal gerbangnya; baunya tidak sedap. Kami masuk ke dalam dan ternyata tidak kecil, tempatnya lumayan luas dengan beberapa bangunan terpisah. Kami masuk ke ruangan meeting kecil dan masing-masing orang mengambil tempat duduk. Di sana kami pun berkenalan dengan Pendeta Yoan Purwanto.
Pak Yoan bercerita banyak tentang GKJ dengan logat Jawanya yang sangat kental. Dia sendiri rupanya berasal dari Yogyakarta dan baru tahun 2012 pindah ke Bandung karena diutus menjadi Pendeta. Mendengar ceritanya kami jadi tahu banyak hal baru tentang GKJ dan juga Jawa.
Keluar dari ruang meeting tersebut, kami diperlihatkan sekeliling GKJ. Gereja tersebut unik karena sangat khas Jawa, banyak simbol gunungan dan kaligrafi batik dalam bahasa Jawa. Tak lama kami pamit dan berterimakasih kepada pak Yoan, lalu melanjutkan perjalanan.
Selanjutnya tujuan kami adalah ke pasar, yang terletak di ujung jalan. Begitu mencapai pasar, langsung tercium bau tidak sedap yang tajam. Di sana juga berisik sekali, diputar musik dangdut sangat keras. Apa boleh buat, sih, namanya juga pasar basah. Kami pun masuk dan mewawancarai beberapa orang, termasuk seorang ibu penjual sesajen, namanya Ibu Enoktasmi.
Perhentian berikutnya adalah Masjid Baiturahman. Di sana kami makan siang dan beristirahat. Tentunya yang muslim sholat dzuhur. Kami meluruskan kaki dan berbincang seru, walaupun bicaranya harus pelan-pelan, biar tidak ganggu orang yang sholat.
Perjalanan kami belum selesai; baru saja jam 1. Setelah itu, kami berangkat lagi. Kami pergi ke Yayasan Beribu, yaitu taman kanak-kanak tempat GKJ mengadakan kebaktian sebelum pindah ke tempat yang sekarang. Tempatnya tidak sempit, lumayan luas malah, dengan beberapa wahana main. Bangunannya hanya satu dan berbentuk balok besar, bernuansa merah muda yang pucat. Kami tidak masuk ke dalam bangunannya, hanya melihat-lihat di luar saja. Di sini kami melengkapi catatan.
Karena waktu kami terbatas, kami pamit dan cepat-cepat pergi ke Stasiun Kircon untuk kembali ke Bandung. Setibanya di Bandung kami mengunjungi taman rooftop yang terletak di atap stasiun, menghadap stasiun gerbang selatan. Hawanya sejuk tapi matahari terik karena tidak ada atapnya, hanya jaring-jaring saja. Di rooftop tersebut terdapat sofa-sofa dan meja, juga ada kolam ikan dan tentunya tanaman. Keren sekali, seperti tempat dari mimpi, kontras dengan keadaan di bawah: sesak, gelap, pengap. Berada di sini serasa langsung segar.
Kami berbincang dengan Pak Ana, pemilik taman rooftop ini. Dia bercerita, di sini dijadikan tempat belajar, makanya ada meja dan kursi. Dia membuka rooftop sejak tahun 1980-an, aku lupa tepatnya kapan, dan mulai dijadikan tempat belajar tahun 90-an. Orangnya sangat dedikatif, aku kagum. Rooftop ini keren sekali, tapi sayangnya, untuk alasan yang tidak diketahui, tidak dikembangkan oleh walikota, padahal walikota sendiri pernah duduk di sini.
Kami merapikan catatan di sana sambil menunggu waktu pulang. Semuanya sudah lemas, wajah kami teler semua akibat lelah. Aku sendiri harus berjuang untuk buka mata, capeeeeeeek sekali rasanya.
Menutup hari, kami pun berdoa dan lalu kembali ke Stasiun Bandung, gerbang utara, menunggu jemputan masing-masing. Aku senang sekali punya pengalaman seperti ini, tapi capeknya juga minta ampun. Tidak terbayang bagaimana nanti waktu perjalanan besar.
Sekian post-ku hari ini. Daah!